Search
Close this search box.

Ketika Kopra Jadi Alat Tukar Bahan Makanan di Sarmi, Jayapura

Kampung Kaptiau, yang terletak di ujung paling timur Kabupaten Sarmi, menyimpan kisah tentang kekayaan alam dan perjuangan hidup masyarakatnya. Kampung ini berbatasan langsung dengan Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Hamparan laut biru dan deretan pohon kelapa di sepanjang pesisir menjadi penanda Kaptiau adalah tanah yang subur dan penuh kehidupan.

Selain ikan yang berukuran besar, Kaptiau juga dikenal sebagai pemasok kelapa untuk Kota Jayapura dan sekitarnya. Ikan, kelapa, kerang air tawar (bia), dan kepiting karaka (brachyura) adalah hasil alam yang sudah menjadi warisan turun-temurun dari leluhur mereka. Namun, di balik semua kekayaan itu, masyarakat Kaptiau masih hidup sederhana dan jauh dari sejahtera.

Transportasi menjadi tantangan besar. Ketika perahu tidak lewat, Kampung Kaptiau seperti terisolasi. Semua serba susah: harga bahan makanan mahal, untuk menjual hasil bumi pun butuh biaya besar.

Dusun Kelapa

Dusun Kelapa berlokasi cukup jauh dari pemukiman utama. Saat air laut surut, dusun ini bisa dijangkau dengan berjalan kaki, menyeberangi muara sungai yang membelah wilayah Kaptiau. Tapi ketika air pasang, satu-satunya jalan menuju sana adalah lewat laut, dengan perahu dayung atau perahu bermotor kecil.

Di Dusun Kelapa sinilah warga mengandalkan hidup mereka. Dulu, masyarakat hanya menjual buah kelapa segar seharga Rp1.000 per buah. Tapi beberapa tahun terakhir, mereka mulai mengolahnya menjadi kopra. Kini, harga kelapa naik menjadi Rp2.000 per buah, sementara kopra di tingkat tengkulak dihargai antara Rp3.000–4.000 per kilogram.

Kopra yang diproduksi oleh masyarakat di Kampung Kaptiau, Sarmi (© Jean M. Marien/KOBUMI)

Kebun kelapa di Kaptiau dikelola berdasarkan sistem keluarga atau marga. Setiap keluarga mengelola sekitar satu hingga satu setengah hektar lahan. Di tengah keterbatasan, mereka bekerja bersama: memetik, membelah, atau menjemur daging kelapa di para-para bambu. Para pembeli biasanya datang untuk menjemput hasil kopra, salah satunya dari Koperasi Yora Mekhande Jaya, yang bekerja sama dengan Yayasan EcoNusa dan KOBUMI dalam mendukung pemasaran hasil kopra masyarakat.

Baca Juga: Yora Mekhande Jaya: Kemandirian Lewat Kopra Papua

Dari Jual ke Barter

Distribusi bahan makanan oleh Koperasi Yhora Mekhande Jaya ke petani melalui sistem barter kopra (© Jean M. Marien/KOBUMI)

Sebelumnya, hasil dari penjualan kopra digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, terutama pangan. Namun, karena biaya transportasi yang semakin mahal dan kapal yang jarang masuk, masyarakat mulai beralih ke sistem barter. Kini, kopra dari Dusun Kelapa tidak lagi selalu dijual dengan uang tunai, tetapi ditukar dengan bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, yang oleh masyarakat disebut Bama. Mereka menganggap barter cukup membantu memenuhi kebutuhan saat ini.

“Pakai sistem barter begini lebih gampang,” tutur Mama Bwara, petani kopra di Kampung Kaptiau. “Sa pu orang tidak perlu keluar ongkos kapal cuma mau beli barang dapur. Kopra kami tukar langsung dengan barang yang kami butuh, jadi dua-dua sama-sama untung, tidak ada yang rugi. Biasanya kami tukar kopra dengan bama, macam beras, gula, kopi, teh, sama minyak goreng. Kalau gula sama tepung, itu sering kami pakai bikin kue waktu ibadah di rumah,” lanjutnya.

Sistem barter ini adalah bentuk adaptasi. Dengan cara ini, masyarakat tidak perlu menempuh perjalanan jauh ke kampung lain atau ke kota hanya untuk membeli bahan makanan, yang harganya pun sering kali lebih mahal.

Masyarakat Kaptiau sudah menjual kelapa dan kopra sejak tahun 1990-an. Ada dua belas keluarga di dusun kelapa yang masih rutin menjual hasilnya ke koperasi Yora Mekhande Jaya, dengan sebagian besar memilih barter dengan bahan makanan.

Dari Kampung Kaptiau, di ujung timur Sarmi, ekonomi tak selalu berjalan dengan uang, tapi dengan kepercayaan dan kebersamaan. Di sini, kopra bukan sekadar hasil bumi, tapi juga alat tukar, bahkan penyambung hidup, simbol ketahanan dan harapan bagi masyarakat yang terus menjaga warisan alamnya, meski hidup mereka masih bergulat dalam keterbatasan.

Narasi: Jean M. Marien | Foto: Jean M. Marien

Dapatkan informasi terbaru tentang produk kami, perjalanan rantai pasokan, dan orang-orang di baliknya