
Di gugusan Kepulauan Banda, waktu berjalan pelan. Laut membiru tenang, angin berembus dari perkebunan pala yang sudah turun-temurun dirawat. Di sinilah, di antara tanah basah dan pohon rindang, cerita tentang rempah pala bermula—bukan di pabrik, bukan di pasar ekspor, tapi di bawah teduhnya pohon pala milik petani lokal.
Sejak abad penjajahan, pala telah mencuri perhatian dunia. Rempah ini, yang dahulu lebih berharga daripada emas, kini tetap menjadi jembatan bagi petani di Banda untuk meraih masa depan yang lebih baik. Salah satu pihak yang berperan dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan produksi pala di Banda adalah Koperasi Banda Naira Mandiri.
Sejak didirikan pada tahun 2023, Koperasi Banda Naira Mandiri bukan hanya menjadi penghubung antara petani dan pasar. Ia tumbuh menjadi mitra sejati petani—mengubah cara mereka melihat hasil bumi. Tidak lagi sekadar menanam dan menjual, melainkan memahami nilai dari setiap buah pala yang dihasilkan. Koperasi ini menjadi tempat para petani bertumbuh bersama, membangun semangat baru di tengah tradisi lama.

Salah satu pengurus koperasi yang akrab disapa Dirman, menceritakan bahwa Koperasi Banda Naira Mandiri tidak hanya membeli pala dari petani, tetapi juga mendampingi mereka dalam setiap proses.
“Kami hadir untuk membangun hubungan jangka panjang, dengan kualitas dan keberlanjutan menjadi bagian dari komitmen kami,” ujarnya.
Melalui pelatihan dan pemberdayaan, petani tidak lagi merasa seperti penjual anonim bagi tengkulak, melainkan bagian dari keluarga besar koperasi. Bersama mitra Yayasan EcoNusa dan KOBUMI, koperasi ini membekali petani dengan berbagai keterampilan, mulai dari teknik sortir pala, manajemen pascapanen, hingga strategi menjaga produktivitas di tengah tantangan lahan yang semakin terbatas.
Baca Juga: Antara Ritual Pemanggil Udang dan Koperasi Fgan Fen Sisi
Salah satu inovasi yang dikenalkan adalah pembangunan rumah-rumah pengering pala. Dengan fasilitas ini, kualitas pala dapat dipertahankan lebih baik, sekaligus membuka peluang untuk meningkatkan nilai jual.
Meski pala Banda adalah primadona yang banyak diburu pedagang dari berbagai penjuru, perjalanan petani tidak selalu mulus. Lahan yang semakin sempit membuat jarak tanam antar pohon mengecil, meningkatkan risiko penyakit dan menurunkan kualitas buah. Di Pulau Rhun, kontur tanah yang ekstrem memperparah tantangan: kekeringan saat musim panas, genangan air saat musim hujan, membuat pala muda harus dipanen sebelum waktunya.
“Tantangan petani itu nyata, mulai dari perubahan iklim sampai soal keterbatasan lahan,” ujar Dirman. “Tapi lewat koperasi, kami berusaha mencari jalan keluar bersama, membuka ruang diskusi, dan mendampingi mereka dalam menemukan solusinya.”
Pada musim panen raya, Koperasi Banda Naira Mandiri menargetkan dapat mengumpulkan hingga 15 ton pala. Sementara itu, pada musim panen kecil, setiap petani rata-rata menghasilkan sekitar 10–15 kilogram pala. Komoditas pala ini sebagian besar berasal dari Pulau Banda Besar, Pulau Rhun, dan Pulau Ay.
“Pala-pala ini kami sourcing langsung dari kebun petani, lalu ditampung sementara di stasiun kami di Gunung Api sebelum akhirnya diangkut ke gudang KOBUMI di Ambon,” jelas Dirman.
Melalui pola kemitraan ini, ketelusuran produk pala terjaga dengan baik. Setiap pala yang dikirim bisa ditelusuri kembali ke tangan para petani yang merawatnya dengan penuh ketekunan. Kolaborasi yang terjalin antara Koperasi Banda Naira Mandiri dengan para petan banda lebih dari sekadar menghasilkan produk. Ini adalah tentang membangun masa depan yang lebih baik, tentang menjaga kelestarian kebun pala untuk generasi yang akan datang. Dan yang lebih penting, ini adalah tentang menjaga hubungan yang saling menguntungkan, bukan hanya antara koperasi dan petani, tetapi juga dengan dunia luar yang kini mengagumi produk pala dari Banda.