Search
Close this search box.

Sasi Pala Seith: Menjaga Budaya & Ekonomi

Negeri Seith, salah satu penghasil pala terkemuka di Maluku Tengah, bukan hanya dikenal karena rempahnya yang berkualitas. Di Seith, adat dan tradisi masih menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Salah satu warisan budaya yang terus dijaga adalah Sasi Pala—tradisi larangan adat untuk memanen pala sebelum waktu yang disepakati bersama, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan proses regeneratifnya.

Masyarakat di Seith tidak memanen pala seperti biasa. Mereka memulainya dengan adat, kesepakatan, dan dengan sistem yang telah diwariskan turun-temurun. Dalam konteks pala, sasi memiliki peran dalam menjaga keberlangsungan pohon dan hasil bumi, juga mengatur bagaimana hasil itu dibagi dan siapa yang berhak atas rezekinya.

Lelang Pala Sasi: Menjual Sebelum Matang

Berbeda dengan praktik jual beli hasil bumi pada umumnya, di Seith, pala dilelang ketika masih muda. Proses ini tidak menentukan siapa yang berhak membeli pala, melainkan siapa yang akan menerima 10 persen dari hasil panen setiap petani di wilayah Soa-nya.

Setiap Soa (gabungan beberapa marga) mengadakan lelang terbuka. Siapa pun boleh ikut serta, tapi hanya satu orang dari masing-masing Soa yang akan terpilih sebagai pemenang. Pemenang lelang memegang kupon panen sah yang dibagikan ke para petani sebagai penanda bahwa sasi telah dibuka dan panen boleh dilakukan.

“Kalau menang lelang, kita yang pegang kupon. Setiap petani harus ambil kupon ke kita sebelum memanen. Setelah panen, mereka serahkan 10 persen biji pala hasil panennya ke kita. Tapi risikonya besar, karena lelang dilakukan saat pala masih muda,” jelas Pak Slamet, petani pala di Seith. 

Hak pemenang lelang tidak otomatis berarti meraih untung. Pemenang lelang harus menyiapkan dana di muka—sering kali hingga puluhan juta rupiah per mu

Aturan Sasi Pala dan Sanksi Adat

Sasi menjadi wujud kedisiplinan yang dijaga bersama. Siapa pun yang memanen tanpa izin akan dikenai sanksi adat—denda atau, dalam kasus berat, hukuman fisik seperti cambuk, yang hanya dilakukan atas persetujuan lembaga adat, pemerintah desa, dan tokoh agama. Sanksi ini dipahami sebagai bentuk tanggung jawab sosial, bukan kekerasan. Bagi masyarakat Seith, keadilan adat menjadi fondasi ketertiban dan penghormatan terhadap alam.

Tradisi yang Menghidupi Masjid dan Masyarakat

Sistem sasi berarti menjaga tatanan sosial dan hasil alam, juga menjadi sumber dana untuk kepentingan bersama. Dana lelang yang terkumpul kemudian dialokasikan secara bertanggung jawab untuk kegiatan keagamaan dan sosial. Mulai dari pembangunan masjid, perbaikan fasilitas umum, hingga inisiatif kesejahteraan masyarakat.

“Dari uang lelang itu, akan diberikan ke masjid atau dikelola oleh masjid untuk kepentingan bersama,” jelas Pak Slamet.

Dengan begitu, hasil dari rempah bukan hanya dinikmati individu, tapi menjadi sumber rezeki yang menghidupi seluruh komunitas.

Sasi dan Pala: Harmoni antara Alam dan Manusia

Secara sederhana, sasi adalah larangan sementara untuk mengambil hasil alam dari suatu wilayah—baik di darat maupun laut—selama waktu tertentu yang telah disepakati oleh masyarakat adat dan tokoh agama. Dalam sistem ini, tanaman pala, misalnya, tidak boleh dipanen sebelum masa sasi dibuka. 

Biasanya sasi ditandai dengan simbol larangan di area kebun atau hutan, berupa janur atau tonggak kayu. Ini menandakan bahwa hasil alam di wilayah tersebut “tertutup”. Namun di balik larangan itu, tersembunyi makna penghormatan terhadap alam sebagai sumber kehidupan bersama.

Dalam budidaya pala, sasi berperan besar dalam memastikan bahwa pohon-pohon pala diberikan waktu yang cukup untuk berbuah sempurna. Hal ini menjaga kualitas panen, mencegah eksploitasi berlebihan, dan memastikan keberlanjutan produksi rempah dalam jangka panjang.

Lebih dari sekadar sistem pengelolaan, sasi mencerminkan filosofi hidup masyarakat Maluku yang menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai bagian dari komunitas yang harus dihormati dan dijaga.

Di tengah tantangan degradasi lingkungan dan krisis iklim, sasi menjadi contoh nyata bahwa masyarakat adat memiliki solusi lokal untuk masalah global. Melestarikan tradisi sasi dalam konteks rempah-rempah seperti pala bukan hanya soal menjaga budaya leluhur, tapi juga strategi dalam menjaga daya saing komoditas Indonesia di pasar global yang semakin peduli pada prinsip etika dan keberlanjutan.

Ketika dunia baru bicara tentang keberlanjutan, warga Seith sudah lebih dulu melakukannya— lewat adat, lewat pala, dan lewat kebijaksanaan yang ditanam turun-temurun.

Dapatkan informasi terbaru tentang produk kami, perjalanan rantai pasokan, dan orang-orang di baliknya